Penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogin. Kesenian Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di Betawi. Seni musik Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu. Dalam musik Betawi kental pengaruh Barat, Tionghoa, Arab, Melayu, Sunda, dan lain-lain.
Tanjidor
Image Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapkan menjadi tanjidor.
Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya.
Sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kompeni. Pada abad ke 18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.
Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu mempunyai keahlian. Di antaranya ada yang mampu memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain : klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan.
Perbudakan dihapuskan tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.
Musik tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu gambang kromong, seperti : Jali-Jali, SurilangSiring Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, stambul, dan persi.
Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.
Pada tahun 1950-an orkes tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada tahun baru masehi dan tahun baru Cina (imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite, seperti : Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Daerah yang penduduknya orang Belanda. Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Capgomeh, yaitu pesta hari ke-15 imlek.
Pada tahun 1954 Pemda Jakarta melarang tanjidor ngamen ke dalam kota. Alasan pelarangan tidak diketahui. Pelarangan ngamen membuat seniman tanjidor kecewa. Sebab pendapatan mereka jadi berkurang. Mereka hanya menunggu panggilan untuk memeriahkan hajatan atau pesta rakyat.
Sampai saat ini grup-grup tanjidor masih bersifat amatir. Mereka main kalau ada panggilan. Grup tanjidor yang kini menonjol adalah Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka pimpinan Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.
Rebana Biang
Kong Sa’anan seniman rebana biang. Umurnya 90 tahun. Tinggal di Bojong Gede Depok. Dia generasi ke-9 dari keluarga seniman rebana biang. Meski sudah tua dia selalu bersemangat jika diajak bicara rebana biang.
Menurut Kong Sa’anan rebana biang sampai di Betawi dibawa oleh pasukan Mataram pimpinan Sultan Agung. Ketika itu rebana biang berfungsi sebagai hiburan dan sarana melakukan kegiatan tarekat. Namun diperkirakan rebana biang sudah ada sebelum Agama Islam.
Disebut rebana biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Rebana biang terdiri dari tiga buah rebana. Ketiga rebana mempunyai nama. Yang kecil bergaris tengah 30 cm diberi nama gendung. Yang berukuran sedang bergais tengah 60 cm dinamai kotek. Yang paling besar bergaris tengah 60 – 80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang sukar dipegang. Untuk memainkannya para pemain duduk sambil menahan rebana.
Dalam membawakan sebuah lagu, ketiga reban itu mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Biang berfungsi gong. Gendung dipukul secara rutin untuk mengisi irama pukulan sela dari biang. Kotek lebih kepada improvisasi dan pemain kotek biasanya paling mahir.
Setiap grup rebana biang mempunyai perbendaharan lagu berbeda-beda. Meskipun judul lagunya sama namun cara membawakannya cukup berbeda. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun. Kedua berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu Melayu. Jenis lagu pertama antara lain berjudul : Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, Hadro Zikir. Termasuk jenis kedua berjudul : Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang, dan lain-lain.
Penamaan lagu Arab dan lagu Melayu tidak berhubungan dengan syair lagunya. Tetapi pada cepat dan lambatnya irama lagu. Cepat dan lambatnya irama lagu dibutuhkan untuk mengiringi tari. Tari yang diiringi rebana biang ialah tari Blenggo.
Dahulu grup rebana biang banyak tersebar seperti di Kalibata Tebet, Condet, Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan sebagainya.
Keberadaan rebana biang saat ini sangat menghawatirkan. Grup rebanan biang Pusaka di Ciganjur masih bertahan. Grup ini dipimpin oleh Abdulrahman. Namun personalia grup ini sebagian besar sudah tua. Kemungkinan grup inipun akan hilang karena kesulitan mencari kader yang berminat menggeluti rebana biang.
Kong Sa’anan sudah berusia 90 tahun. Pada tahun 1950-an grup rebana biang Kong Sa’anan sangat ditunggu-tunggu pementasannya. Konon Kong Sa’anan mempunyai Ronggeng Gaib yang selalu menyertai pementasannya. Ronggeng Gaib inilah yang menyedot dan menghipnotis penonton. Sehingga penonton dengan sukarela bertahan samapi pagi.
Kong Sa’anan kini tidak mungkin lagi pentas dengan grup rebana biangnya. Rebana biang yang telah digeluti leluhurnya sejak jaman Mataram, telah dijual. Bagaiman nasib si Ronggeng Gaib selanjutnya? Walallahu ‘alam.
Rebana Hadroh
Sejak kecil Mudehir telah tuna nerta. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana di kampung Pondok Pinang Jakarta Selatan. Tetangganya seorang Betawi kaya yang memiliki pabrik batik cap. Setiap hari Mudehir mendengar kesibukan buruh yang bekerja pabrik batik cap itu. Suara hentakan bertalu-talu para buruh itu membangkitkan inspirasi dan imajinasi bagi Mudehir. Semakin didengarkan, suara-suara itu semakin memperkaya batin Mudehir.
Feeling berkesenian Mudehir sangat kuat. Suatu hari dia diajak bermain rebana. Dengan senang hati dia ikut ajakan itu. Ternyata perkumpulan rebana yang mengajaknya adalah perkumpulan rebana hadroh. Bagi Mudehir pukulan-pukulan rebana hadroh terasa tidak asing di telinganya. Bahkan malah sudah sangat akrab. Ternyata pukulan rebana hadroh tidak jauh berbeda dengan suara-suara yang tiap hari didengar dari pabrik batik cap.
Para seniman rebana mengatakan cara memainkan rebana hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang. Rebana hadroh terdiri dari tiga instrumen rebana. Pertama disebut Bawa. Kedua disebut Ganjil atau Seling. Ketiga disebut Gedug. Bawa berfungsi sebagai komando, irama pukulannya lebih cepat. Ganjil atau Seling berfungsi saling mengisi dengan Bawa. Gedug berfungsi sebagi bas.
Jenis pukulan rebana hadroh ada empat, yaitu : tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara lain : irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek, pegatan, dan bima.
Lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana hadroh adalah Adu Zikir. Dalam Adu Zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair Diiwan Hadroh.
Rebana hadroh pernah ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, Paseban. Mudehir menjadi tokoh legendaris dalam kesenian rebana hadroh. Mudehir memiliki keterampilan tehnis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat kaya. Bahkan dengan kakinya pun suara rebana masih sempurna. Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik. Mudehir wafat pada tahun 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini rebana hadroh tinggal kenangan.
Rebana Dor
Rebana Dor jenis rebana yang fleksibel. Reban Dor dapat digabung pada semua rebana. Dapat dimainkan bersama Rebana Ketimpring, Rebana Hadroh, dan orkes gambung.
Ciri khas Rebana Dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal lagu sampai akhir. Cairi lain adalah lagu Yaliil. Yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Al-Qur’an. Namanya antara lain : Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Cara memegang Rebana Dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul reban.
Syair lagu Rebana Dor diambil dari berbagai sumber. Dapat diambil dari syair Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai dan lain-lain.
Rebana Dor lebih banyak persamaannya dengan Rebana Kasidah. Perkembangan Rebana Kasidah sangat pesat sehingga menggeser Rebana Dor. Lagi pula Rebana Kasidah lebih diminati remaja putri. Rebana Dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana Kasidah lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana Dor didukung pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut.
H. Naiman dari kampung Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh Rebana Dor. Sayangnya ketiga orang ini tidak mempunyai penerus. Sehingga Rebana Dor tidak berkembang.
Rebana Burdah*
Keluarga Ba’mar, Azmar, dan Kathum berasal dari Mesir. Keluarga ini telah menetap di Betawi lebih dari tiga generasi. Mereka tinggal di Kampung Kuningan Barat, Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Salah seorang sesepuh mereka yaitu Sayyid Abdullah Ba’mar melahirkan kesenian Rebana Burdah. Dan menamai grupnya dengan naman Firqah Burdah Ba’mar. Abdullah Ba’mar secara intensif membina Rebana Burdah. Semua anak cucunya dianjurkan belajar Rebana Burdah.
Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan disajikannya Rebana Burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri. Syair ini berisi puji-pujiab kepada Nabi Muhammad.
Rebana Burdah ternyata disenangi oleh keluarga keturuan Arab. Maka setiap ada kegiatan ditampilkanlah Rebana Burdah. Lagu-lagunya masih tetap dari syair Al-Busyiri.
Rebana Maukhid*
Munculnya jenis kesenian Rebana Maukhid tidak lepas dari nama Habib Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan Rebana Maukhid. Habib Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana Maukhid yang asli hanya dua buah. Tapi Habib Hussein mengembangkannya menjadi empat sampai 16 buah.
Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih memeriahkan tablig, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari karya Abdullah Alhadad.
Keberadaan Rebana Maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan, tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah. Rebana Maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid Habib Hussein Alhadad.
Rebana Ketimpring
Rebana Ketimpring jenis rebana yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan, yaitu rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring ada dua macam. Pertama Rebana Ngarak. Kedua Rebana Maulid.
Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana Ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin pria menuju ke rumah mempelai pengantin wanita. Syair lagu Rebana Ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, Rebana Ngarak tidak statis di satu tempat saja.
Rebana Ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup Rebana Ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat. Dalam upacara ngarak penganten biasanya ada dialog berbalas pantun dan atraksi silat. Grup Rebana Ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.
Rebana Maulid sesuai dengan namanya berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syeh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti : Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri.
Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.
Pukulan Rebana Maulid berbeda dengan pukulan Rebana Ngarak. Nama-nama pukulan Rebana Maulid disebut : pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat.
Dahulu ada seniman Rebana Maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut Gaya Sa’dan.
Minat generasi muda belajar Rebana Maulid sangat kurang. Kini pembacaan maulid Nabi Muhammad sudah jarang diiringi rebana.
Rebana Kasidah*
Rebana Kasidah termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup Rebana Kasidah. Peneliti musik rebana menganggap jenis Rebana Dor mengilhami munculnya Rebana Kasidah.
Sejak awal Rebana Kasidah sudah disenangi, khususnya oleh remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan Rebana Kasidah. Tidak ada unsur ritual dalam penampilan Rebana Kasidah. Maka Rebana Kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja.
Tahun 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup yang merekam ke pita kaset. Kaset rekaman itu laku dijual.
Penyanyi Rebana Kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain.
Rebana Kasidah terus berkembang. Syairnya tidak terbatas pada bahasa Arab. Ada yang bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, dan sebagainya. Bahkan kini ada grup kasidah modern.
Minggu, 17 Januari 2010
Jurus Jurus BEKSI
3. Jurus-jurus dan belajar Beksi
Jurus-jurus Beksi terkenal dengan keras, cepat, ringkas dan mengarah pada tempat-tempat yang mematikan pada tubuh.
Sebelum mempelajari jurus, murid biasanya mengikuti syarat penerimaan siswa yang disebut rosulan atau ngerosul; berupa tawasul disertai zikir tahlil memanjatkan doa pada Allah SWT agar dalam mempelajari beksi diberi kerido’an, kekuatan, ketabahan dan kesabaran.
Dalam permain-an jurus, ada banyak melakukan gedi-(k/g) atau hentakan kaki ke lantai dan gerakan tangan yang sangat cepat. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melotot dan tidak berkedip dalam melihat gerak lawan.
Cara belajar –mengajar beksi :
a. Diperkenalkan jurus. Murid menirukan disebut juga : asal tau jalan
b. Tuntun. Latihan gerak bela yang dituntun oleh guru dengan teknik dan aplikasi jurus
c. Sambut. Murid tanding dengan sesama murid atau guru dengan menggunakan jurus.
Secara fundamental ada 12 jurus dalam beksi dibeberapa tempat disebut dengan nama yang berbeda.
Berikut nama-nama jurus beksi berdasarkan wilayahnya:
DAERAH I
1. Jurus Beksi
2. Jurus Gedig
3. Jurus Tancep
4. Jurus Cauk
5. Jurus Broneng
6. Jurus Bandut
7. Jurus Beksi Satu
8. Jurus Silem
9. Jurus lokbe
10. Jurus Bolang Baling
11. Jurus Janda Berias
12. Jurus Panca Lima
DAERAH I I
1. Jurus Beksi
2. Jurus Gedig
3. Jurus Tancep
4. Jurus Ganden
5. Jurus Bandut/bandul
6. Jurus Broneng
7. Jurus Tingkes
8. Jurus Rusia Pecah Tiga
9. Jurus Bolang Baling
10. Jurus Gebal
11. Jurus Kebut
12. Jurus Petir
DAERAH III
1. Jurus Beksi
2. .Jurus Gedig
3. .Jurus Tancep
4. .Jurus Ganden
5. .Jurus Bandut/bandul
6. .Jurus Broneng
7. .Jurus Tingkes
8. .Jurus timpug
9. .Jurus Kebut
10. .Jurus Tiga
11. .Jurus Galang Tiga
12. .Jurus Galang Lima
DAERAH IV
1. Jurus Beksi
2. .Jurus Gedig
3. .Jurus Tancep
4. .Jurus Ganden
5. .Jurus Kebut
6. .Jurus Broneng
7. .Jurus Beksi Satu
8. .Jurus Ganden Susun
9. .Jurus Tingkes
10. .Jurus Silem
11. Jurus Timpug
12. Jurus Tunjang/Petir
Pelajaran senjata juga diberikan yaitu ilmu golok yang terdiri dari dua jurus yaitu jurus golok satu dan dua. Jurus golok satu dipecah lagi jadi jurus satu hingga jurus tujuh. Sedangkan jurus golok dua dipecah menjadi 2 jurus yaitu jurus satu dan dua.
Kombinasi jurus baik tangan kosong maupun golok sangat sanagt penting dalam beksi sehingga bisa bercipta berbagai jurus lagi misalnya : Jurus bandut tepuok, jurus bandut galang, dll.
“ Lu jual gue beli”
“Lu jangan maen pukul aje, maen hakim sendiri. Pakelah ilmu padi, mangkin berisi, mangkin merunduk”
Jurus-jurus Beksi terkenal dengan keras, cepat, ringkas dan mengarah pada tempat-tempat yang mematikan pada tubuh.
Sebelum mempelajari jurus, murid biasanya mengikuti syarat penerimaan siswa yang disebut rosulan atau ngerosul; berupa tawasul disertai zikir tahlil memanjatkan doa pada Allah SWT agar dalam mempelajari beksi diberi kerido’an, kekuatan, ketabahan dan kesabaran.
Dalam permain-an jurus, ada banyak melakukan gedi-(k/g) atau hentakan kaki ke lantai dan gerakan tangan yang sangat cepat. Oleh sebab itu dianjurkan untuk melotot dan tidak berkedip dalam melihat gerak lawan.
Cara belajar –mengajar beksi :
a. Diperkenalkan jurus. Murid menirukan disebut juga : asal tau jalan
b. Tuntun. Latihan gerak bela yang dituntun oleh guru dengan teknik dan aplikasi jurus
c. Sambut. Murid tanding dengan sesama murid atau guru dengan menggunakan jurus.
Secara fundamental ada 12 jurus dalam beksi dibeberapa tempat disebut dengan nama yang berbeda.
Berikut nama-nama jurus beksi berdasarkan wilayahnya:
DAERAH I
1. Jurus Beksi
2. Jurus Gedig
3. Jurus Tancep
4. Jurus Cauk
5. Jurus Broneng
6. Jurus Bandut
7. Jurus Beksi Satu
8. Jurus Silem
9. Jurus lokbe
10. Jurus Bolang Baling
11. Jurus Janda Berias
12. Jurus Panca Lima
DAERAH I I
1. Jurus Beksi
2. Jurus Gedig
3. Jurus Tancep
4. Jurus Ganden
5. Jurus Bandut/bandul
6. Jurus Broneng
7. Jurus Tingkes
8. Jurus Rusia Pecah Tiga
9. Jurus Bolang Baling
10. Jurus Gebal
11. Jurus Kebut
12. Jurus Petir
DAERAH III
1. Jurus Beksi
2. .Jurus Gedig
3. .Jurus Tancep
4. .Jurus Ganden
5. .Jurus Bandut/bandul
6. .Jurus Broneng
7. .Jurus Tingkes
8. .Jurus timpug
9. .Jurus Kebut
10. .Jurus Tiga
11. .Jurus Galang Tiga
12. .Jurus Galang Lima
DAERAH IV
1. Jurus Beksi
2. .Jurus Gedig
3. .Jurus Tancep
4. .Jurus Ganden
5. .Jurus Kebut
6. .Jurus Broneng
7. .Jurus Beksi Satu
8. .Jurus Ganden Susun
9. .Jurus Tingkes
10. .Jurus Silem
11. Jurus Timpug
12. Jurus Tunjang/Petir
Pelajaran senjata juga diberikan yaitu ilmu golok yang terdiri dari dua jurus yaitu jurus golok satu dan dua. Jurus golok satu dipecah lagi jadi jurus satu hingga jurus tujuh. Sedangkan jurus golok dua dipecah menjadi 2 jurus yaitu jurus satu dan dua.
Kombinasi jurus baik tangan kosong maupun golok sangat sanagt penting dalam beksi sehingga bisa bercipta berbagai jurus lagi misalnya : Jurus bandut tepuok, jurus bandut galang, dll.
“ Lu jual gue beli”
“Lu jangan maen pukul aje, maen hakim sendiri. Pakelah ilmu padi, mangkin berisi, mangkin merunduk”
Tokoh Tokoh BEKSI
2. Tokoh-tokoh Beksi
Hampir semua aliran beksi mengakui bahwa yang mengajarkan pertama-tama ilmu beksi adalah Ki Kidan ( Ki Iban) dan atau Raja Bulu.
Lebih lanjut inilah para tokohnya berdasarkan generasi:
Generasi I : Raja Bulu dan Ki Jidan (Ki Iban)
Generasi II : Ki Lie Cengk Ok, Ki Tempang, Ki Muna, Ki Dalang Ji’ah
Generasi III : Kong Marhali, Nyi Mas Melati, Kong Godjalih
Generasi IV : Kong H Hasbullah, Kong HM Nur, Kong Simin, Minggu, Salam Kalut, H Mansyur, Muhammad Bopeng
Generasi V : Tonganih, Dimroh, HM Yusuf, HM Nuh, Sidik, H Namat, H Syahro, Mandor Simin, Umar
Generasi VI :H Machtum, Tong tirih, H Dani, Udin Sakor, Soleh, Tholib/syaiful, dll
Generasi VII : Abdul Aziz, Abdul Malik, HA Yani, Mftah, Nasrullah, dll
Ki Iban/Raja Bulu memiliki murid yaitu : Ki Lie Cengk Ok, Ki Tempang, Ki Muna, Ki Dalang Ji’ah.
Yang belajar pada atau menjadi murid dari Ki Ceng Ok yaitu : Kong Godjalih, Kong Marhali. Sedangkan Nyimas Melati berguru pada Ki Dalang Ji’ah.
Para murud dari Ki Ceng Ok terus menerus menyebarkan Beksi hingg ke Jakarta dan tempat lain. Mereka dikenal denga sebutan 'Beksi empat serangkai' yakni : Kong Jali, Kong Has, Kong Nur dan Kong Simin.
Hampir semua aliran beksi mengakui bahwa yang mengajarkan pertama-tama ilmu beksi adalah Ki Kidan ( Ki Iban) dan atau Raja Bulu.
Lebih lanjut inilah para tokohnya berdasarkan generasi:
Generasi I : Raja Bulu dan Ki Jidan (Ki Iban)
Generasi II : Ki Lie Cengk Ok, Ki Tempang, Ki Muna, Ki Dalang Ji’ah
Generasi III : Kong Marhali, Nyi Mas Melati, Kong Godjalih
Generasi IV : Kong H Hasbullah, Kong HM Nur, Kong Simin, Minggu, Salam Kalut, H Mansyur, Muhammad Bopeng
Generasi V : Tonganih, Dimroh, HM Yusuf, HM Nuh, Sidik, H Namat, H Syahro, Mandor Simin, Umar
Generasi VI :H Machtum, Tong tirih, H Dani, Udin Sakor, Soleh, Tholib/syaiful, dll
Generasi VII : Abdul Aziz, Abdul Malik, HA Yani, Mftah, Nasrullah, dll
Ki Iban/Raja Bulu memiliki murid yaitu : Ki Lie Cengk Ok, Ki Tempang, Ki Muna, Ki Dalang Ji’ah.
Yang belajar pada atau menjadi murid dari Ki Ceng Ok yaitu : Kong Godjalih, Kong Marhali. Sedangkan Nyimas Melati berguru pada Ki Dalang Ji’ah.
Para murud dari Ki Ceng Ok terus menerus menyebarkan Beksi hingg ke Jakarta dan tempat lain. Mereka dikenal denga sebutan 'Beksi empat serangkai' yakni : Kong Jali, Kong Has, Kong Nur dan Kong Simin.
Seni Bela Diri BEKSI
BEKSI : MAEN PUKULAN BETAWI
(Disarikan dari buku karangan Yahya Saputra dan Irwan Sjafi’ie “Beksi, Maen Pukulan Khas Betawi’, diterbitkan oleh penerbit Gunung Jati,Jakarta 2002)
1. Asal Usul Beksi
Seni budaya beladiri yang oleh orang betawi disebut maen pukulan Beksi lahir dari kemampuan orang terpilih yang tiada hentinya melatih kepekaan inderawi, mengolah kelebihan atau kelenturan anatomi tubuh dan belajar sebanyak mungkin dari pertanda alam seperti riak sungai, hembusan angin, gerak dan laku macan, monyet, kelabang, belalang,dst (hal 19).
Menurut buku ini, asal usul beksi ada beberapa versi.
a. Versi pertama. Versi ini dikisahkan oleh seorang sesepuh Beksi: H Atang Lenong (usia 84 tahun –ketika wawancara tahun 2001). Beksi mulai muncul ke permukaan dalam kurun pertengahan abad 19 sekitar tahun 1850-1860-an. Pada masa ini ada seorang tuan tanah di daerah tangerang bernama Gow Hok Boen yang tinggal di kampung kosambi. Tuan tanah ini kebetulan gemar akan beladiri dan menguasai ilmu kuntao atau kungfu. Orang lokal tangerang mengenal Gow Hok Boen sebagai Tuan tanah kedaung.
Sebagai tuan tanah, Tuan Gow punya sekian banyak centeng untuk membantunya. Kepala centengnya bernama Ki Kenong yang memiliki ilmu beladiri yang tinggi dan dicampur dengan ilmu sihir yang dahsyat. Tertarik dengan beladiri, Tuan tanah ini mengadakan sayembara untuk mencari jagoan yang lebih hebat dari kepala centengnya dan mendapat kedudukan menggantikan jabatan sebagai kepala centeng. Maka setiap malam minggu diadakan pibu alias duel dengan banyak jagoan yang mau mengadu ilmu dan keberuntungan dengan melawan Ki Kenong.
Namun dari sekian banyak penantangnya belum ada satupun yang berhasil mengalahkan Ki Kenong. Tersebutlah ada seorang tukang singkong rebus (disebut ancemon atau singkong urap) bernama Pak Jidan yang setiap malam menjual singkong di tengah keramaian pertunjukan duel ini. Pak Jidan mengambil singkong dari hutan dekat tempat tinggalnya dan singkong tersebut tidak habis-habis dan seperti ada yang memelihara, namun karena di hutan Pak Jidan tidak ambil pusing. Suatu sore, ketika pak Jidan beristirahat di rumahnya dia didatangi oleh seorang pemuda yang protes karena singkong yang dia tanam dan pelihara di hutan diambil oleh pak jidan. Karena tidak tahu pak Jidan pun minta maaf. Melihat keluguan dan kekjujuran pak Jidan serta hidupnya yang miskin, orang misterius itu menawarkan untuk membantu pak Jidan dengan memberi pelajaran maen pukulan; tanpa memandang waktu itu pak jidan sudah berumur sekitar 60-an.
Singkat kata, Pak jidan menerima pelajaran maen pukulan sebanyak 8 jurus dan tiga atau empat lagi belum diajarkan, yang akan diajarkan oleh orang lain. Sebelum pergi orang misterius itu minta kemenyan dan berpesan bahwa dia bisa dipanggil-- jika pak jidan memerlukan --dengan membakar kemenyan dan membaca mantra. Ketika orang itu pergi, Pak Jidan melihat ekor macan tersembul dari balik jubahnya dan juga tengkuknya terlihat loreng-loreng seperti layaknya kulit harimau. Pak jidan pun terkejut dan maklum bahwa dia dikunjungi dan diajari maen pukulan oleh Ki Belang atau Siluman Macan Putih.
Malam selanjutnya, pak Jidan berjualan seperti biasa di tengah pentas duel. Disebabkan karena jengkel dengan jagoan-jagoan yang tidak bayar sewaktu makan singkong dagangannya, Pak Jidan menendang keranjang dagangannya dan melayang masuk ke tengah gelanggang. Tuan tanah Gow pun marah dan menyuruh orang menyeret Pak Jidan tengah arena dan memaksanya bertarung dengan Ki Kenong.
Di luar dugaan, Pak Jidan mampu mengalahkan di Kenong dengan ilmu yang diajarkan oleh Ki Belang itu. Menurut legenda, dengan jurus baroneng-lah Pak Jidan melumpuhkan ilmu Ki Kenong yang terkenal dengan ‘pukulan tangan berapi’. Ketika ditanya oleh Tuan Gow tentang ilmu yang dipakai oleh Pak Jidan, dia tidak tahu apa namanya. Lalu tuan Gow Hok Boen menyebutnya Beksi artinya pertahanan empat mata angin. Sejak itu terkenallah Pak Jidan—yang diangkat sebagai kepala pengawal keamanan-- dengan ilmu beksinya.
b. Versi kedua diceritakan oleh H Mahtun (lahir di petukangan 1945). Alkisah di kampung bagian timur tangerang hiduplah seorang laki-laki yang mahir beladiri bernama Raja Bulu berusia sekitar 63 tahun yang hidup berdua dengan anaknya yang gagu (bisu), istrinya sudah meninggal dunia.
Kehidupan Raja Bulu berkecukupan dengan pekerjaan mengajar silat dari kampong ke kampong. Si anak sendiri tidak mau belajar silat pada bapaknya. Suatu ketika Raja bulu bertanya pada anaknya mengapa dia tidak mau belajar maen pukulan. Dan jawabannya sungguh mengejutkan: karena di anak belum tentu kalah dalam sambut-pukul dengan Raja Bulu.
Si ayah lalu mengetes dan terjadilah pertarungan dan menjadi keteter atau kewalahan menghadapi ilmu anak bisu. Akhirnya si anak mengaku bawah selama ini dia belajar maen pukulan di hutan dan dilatih oleh siluman mcan putih. Karena belum ada nama, Raja bulu menyebut ilmu yang dikuasai oleh anaknya : Beksi: sebab seperti segi empat dengan empat arah . Sejak itu Raja Bulu pun belajar pada anaknya dan ilmu ini pun diajarkan ke murid-muridnya.Demikian beksi pun berkembang.
Dalam perkembangan selanjutnya para pendekar Beksi memberi banyak makna pada ilmu maen-pukulan ini. Ada yang mengartikan BEKSI= Berbaktilah Engkau pada Sesama Insan ....
Asal usul di atas merupakan folklore, cerita rakyat berisi legenda yang didalamnya terdapat unsur-unsur kenyataan dan juga mitos atau legenda.
(Disarikan dari buku karangan Yahya Saputra dan Irwan Sjafi’ie “Beksi, Maen Pukulan Khas Betawi’, diterbitkan oleh penerbit Gunung Jati,Jakarta 2002)
1. Asal Usul Beksi
Seni budaya beladiri yang oleh orang betawi disebut maen pukulan Beksi lahir dari kemampuan orang terpilih yang tiada hentinya melatih kepekaan inderawi, mengolah kelebihan atau kelenturan anatomi tubuh dan belajar sebanyak mungkin dari pertanda alam seperti riak sungai, hembusan angin, gerak dan laku macan, monyet, kelabang, belalang,dst (hal 19).
Menurut buku ini, asal usul beksi ada beberapa versi.
a. Versi pertama. Versi ini dikisahkan oleh seorang sesepuh Beksi: H Atang Lenong (usia 84 tahun –ketika wawancara tahun 2001). Beksi mulai muncul ke permukaan dalam kurun pertengahan abad 19 sekitar tahun 1850-1860-an. Pada masa ini ada seorang tuan tanah di daerah tangerang bernama Gow Hok Boen yang tinggal di kampung kosambi. Tuan tanah ini kebetulan gemar akan beladiri dan menguasai ilmu kuntao atau kungfu. Orang lokal tangerang mengenal Gow Hok Boen sebagai Tuan tanah kedaung.
Sebagai tuan tanah, Tuan Gow punya sekian banyak centeng untuk membantunya. Kepala centengnya bernama Ki Kenong yang memiliki ilmu beladiri yang tinggi dan dicampur dengan ilmu sihir yang dahsyat. Tertarik dengan beladiri, Tuan tanah ini mengadakan sayembara untuk mencari jagoan yang lebih hebat dari kepala centengnya dan mendapat kedudukan menggantikan jabatan sebagai kepala centeng. Maka setiap malam minggu diadakan pibu alias duel dengan banyak jagoan yang mau mengadu ilmu dan keberuntungan dengan melawan Ki Kenong.
Namun dari sekian banyak penantangnya belum ada satupun yang berhasil mengalahkan Ki Kenong. Tersebutlah ada seorang tukang singkong rebus (disebut ancemon atau singkong urap) bernama Pak Jidan yang setiap malam menjual singkong di tengah keramaian pertunjukan duel ini. Pak Jidan mengambil singkong dari hutan dekat tempat tinggalnya dan singkong tersebut tidak habis-habis dan seperti ada yang memelihara, namun karena di hutan Pak Jidan tidak ambil pusing. Suatu sore, ketika pak Jidan beristirahat di rumahnya dia didatangi oleh seorang pemuda yang protes karena singkong yang dia tanam dan pelihara di hutan diambil oleh pak jidan. Karena tidak tahu pak Jidan pun minta maaf. Melihat keluguan dan kekjujuran pak Jidan serta hidupnya yang miskin, orang misterius itu menawarkan untuk membantu pak Jidan dengan memberi pelajaran maen pukulan; tanpa memandang waktu itu pak jidan sudah berumur sekitar 60-an.
Singkat kata, Pak jidan menerima pelajaran maen pukulan sebanyak 8 jurus dan tiga atau empat lagi belum diajarkan, yang akan diajarkan oleh orang lain. Sebelum pergi orang misterius itu minta kemenyan dan berpesan bahwa dia bisa dipanggil-- jika pak jidan memerlukan --dengan membakar kemenyan dan membaca mantra. Ketika orang itu pergi, Pak Jidan melihat ekor macan tersembul dari balik jubahnya dan juga tengkuknya terlihat loreng-loreng seperti layaknya kulit harimau. Pak jidan pun terkejut dan maklum bahwa dia dikunjungi dan diajari maen pukulan oleh Ki Belang atau Siluman Macan Putih.
Malam selanjutnya, pak Jidan berjualan seperti biasa di tengah pentas duel. Disebabkan karena jengkel dengan jagoan-jagoan yang tidak bayar sewaktu makan singkong dagangannya, Pak Jidan menendang keranjang dagangannya dan melayang masuk ke tengah gelanggang. Tuan tanah Gow pun marah dan menyuruh orang menyeret Pak Jidan tengah arena dan memaksanya bertarung dengan Ki Kenong.
Di luar dugaan, Pak Jidan mampu mengalahkan di Kenong dengan ilmu yang diajarkan oleh Ki Belang itu. Menurut legenda, dengan jurus baroneng-lah Pak Jidan melumpuhkan ilmu Ki Kenong yang terkenal dengan ‘pukulan tangan berapi’. Ketika ditanya oleh Tuan Gow tentang ilmu yang dipakai oleh Pak Jidan, dia tidak tahu apa namanya. Lalu tuan Gow Hok Boen menyebutnya Beksi artinya pertahanan empat mata angin. Sejak itu terkenallah Pak Jidan—yang diangkat sebagai kepala pengawal keamanan-- dengan ilmu beksinya.
b. Versi kedua diceritakan oleh H Mahtun (lahir di petukangan 1945). Alkisah di kampung bagian timur tangerang hiduplah seorang laki-laki yang mahir beladiri bernama Raja Bulu berusia sekitar 63 tahun yang hidup berdua dengan anaknya yang gagu (bisu), istrinya sudah meninggal dunia.
Kehidupan Raja Bulu berkecukupan dengan pekerjaan mengajar silat dari kampong ke kampong. Si anak sendiri tidak mau belajar silat pada bapaknya. Suatu ketika Raja bulu bertanya pada anaknya mengapa dia tidak mau belajar maen pukulan. Dan jawabannya sungguh mengejutkan: karena di anak belum tentu kalah dalam sambut-pukul dengan Raja Bulu.
Si ayah lalu mengetes dan terjadilah pertarungan dan menjadi keteter atau kewalahan menghadapi ilmu anak bisu. Akhirnya si anak mengaku bawah selama ini dia belajar maen pukulan di hutan dan dilatih oleh siluman mcan putih. Karena belum ada nama, Raja bulu menyebut ilmu yang dikuasai oleh anaknya : Beksi: sebab seperti segi empat dengan empat arah . Sejak itu Raja Bulu pun belajar pada anaknya dan ilmu ini pun diajarkan ke murid-muridnya.Demikian beksi pun berkembang.
Dalam perkembangan selanjutnya para pendekar Beksi memberi banyak makna pada ilmu maen-pukulan ini. Ada yang mengartikan BEKSI= Berbaktilah Engkau pada Sesama Insan ....
Asal usul di atas merupakan folklore, cerita rakyat berisi legenda yang didalamnya terdapat unsur-unsur kenyataan dan juga mitos atau legenda.
Asal Usul Nama Tempat Di Jakarta
Kajian sejarah toponomi ini merupakan salah satu upaya dalam menjelaskan sejarah asal – usul nama suatu tempat atau nama kampung yang ada di Jakarta. Ternyata setelah dilakukan penelitian, baik yang bersifat kajian arsip maupun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dan nara sumber yang layak untuk itu, menyebutkan nama tempat dan nama kampung yang ada di Jakarta, tidak sekedar nama saja. Hampir semua nama yang dikaji pada pengkajian nama tempat dan kampung kali ini, mempunyai riwayat sendiri – sendiri.
Angke
Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Mayat orang – orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.
Betawi
Merupakan sebutan lain untuk kota Jakarta dan sekaligus sebutan untuk masyarakat pribumi yang berdiam di Jakarta Asal – usul penyebutan nama Betawi ini ada beberapa versi.
Versi pertama menyebutkan bahwa nama Betawi berasal dari pelesetan nama Batavia. Nama Batavia berasal dari nama yang diberikan oleh J.P Coen untuk kota yang harus dibangunnya pada awal kekuasaan VOC di Jakarta. Kota Batavia yang dibangun Coen itu sekarang disebut Kota atau Kota lama Jakarta. Karena asing bagi masyarakat pribumi dengan kata Batavia, maka sering dibaca dengan Betawi.
Versi kedua menyebutkan bahwa nama Betawi mempunyai sastra lisan yang berawal dari peristiwa sejarah yang bermula dari penyerangan Sultan Agung (Mataram) ke Kota berbenteng , Batavia. Karena dikepung berhari – hari dan sudah kehabisan amunisi, maka anak buah (serdadu) J.P. Coen terpaksa membuat peluru meriam dari kotoran manusia Kotoran manusia yang ditembakkan kepasukan Mataram itu mendatangkan bau yang tidak sedap, secara spontan pasukan Mataram yang umumnya adalah orang Jawa berteriak menyebut mambu tai….., mambu tai. Kemudian dalam percakapan sehari – hari sering disebut Kota Batavia dengan kota bau tai dan selanjutnya berubah dengan sebutan Betawi.
Glodok
Glogok dewasa ini dijadikan nama sebuah kelurahan di wilayah kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal – usul nama kawasan itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata grojok, onomatopi suara kucuran air dari pancuran. Memang cukup masuk akal, karena di sana jaman dulu terdapat semacam waduk penampungan air dari kali Ciliwung, yang dikucurkan dengan pancuran terbuat dari kayu dari ketinggian kurang lebih 10 kaki. Kata grojok diucapkan oleh orang – orang. Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu jaman dulu berubah menjadi Glodok sesuai dengan lidahnya.
Keterangan lainnya menyebutkan, bahwa kata glodok diambil dari sebutan terhadap jembatan yang melintas Kali Besar (Ciliwung) di kawasan itu, yaitu jembatan Glodok. Disebut demikian karena dahulu di ujungnya terdapat tangga – tangga menempel pada tepi kali, yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci oleh penduduk di sekitarnya. Dalam bahasa Sunda, tangga semacam itu disebut glodok, sama seperti sebutan bagi tangga rumah.
Mandi di kali pada jaman dulu, bukan hanya kebiasaan orang bumiputra saja melainkan menjadi kebiasaan umumnya penduduk, termasuk orang – orang Belanda yang berkedudukan tinggi sekalipun ( De Haan, 1935: 193 dan 294).
Karet Tengsin
Marupakan nama kampung yang ada disekitar kampung Tanah Abang. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng Sien . Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada masyarakat sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal. Disekitar daerah ini pada waktu itu banyak tumbuh pohon karet karena masih berupa hutan. Pada waktu Ten Sien meninggal, banyak masyarakat yang dating melayat. Bahkan ada yang dating dari luar Jakarta, seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur Teng Sien dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah ini terkenal sampai sekarang dengan nama Karet Tengsin.
Kebayoran
Kawasan Kebayoran dewasa ini terbagi menjadi dua buah kecamatan, Kecamatan Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama, Kotamadya Jakarta Selatan.
Kebayoran berasal dari kata kabayuran, yang artinya “tempat penimbunan kayu bayur†(Acer Laurinum Hask., famili Acerinae), yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap (fillet 1888: 40). Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun dikawasan itu pada jaman dulu, melainkan juga jenis – jenis kayu lainnya. Kayu – kayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Berbeda dengan keadaan sekarang, kedua sungai tersebut pada jaman itu cukup lebar dan berair dalam.
Menteng
Merupakan nama daerah yang ada di selatan kota Batavia. Semula daerah ini merupakan hutan dan banyak ditumbuhi pohon buah – buahan. Karena banyaknya pohon Menteng yang tumbuh di daerah ini, maka masyarakat mengaitkan nama tempat ini dengan Kelurahan dan sekaligus juga nama Kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Pusat.
Pancoran
Pancoran terletak di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat.
Pancoran berasal dari kata Pancuran. Di kawasan itu pada tahun 1670 dibangun semacam waduk atau “aquada†tempat penampungan air dari kali Ciliwung, yang dilengkapi dua buah pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian kurang lebih 10 kaki.
Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjaja yang menjajakannya disepanjang saluran – saluran (grachten) di kota. Dari tempat itu pula kelasi- kelasi biasa mengangkut air untuk kapal – kapal yang berlabuh agak jauh dilepas pantai, karena dipelabuhan Batavia kapal tidak dapat merapat. Karena banyaknya yang mengambil air dari sana, sering kali mereka harus antri berjam – jam. Tidak jarang kesempatan itu mereka manfaatkan untuk menjual barang – barang yang mereka selundupkan.
Dari penampungan di situ kemudian air disalurkan ke kawasan kastil melalui Pintu Besar Selatan. Rancangannya sudah dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Durven (1728 – 1732), tetapi dilaksanakan pada awal masa Van Imhoff berkuasa (1743 – 1750). Dengan demikian maka pengambilan air untuk keperluan kapal menjadi tidak terlalu jauh sampai melewati kota.
Dengan adanya saluran air dari kayu itu, maka di halaman Balikota (Stadhuis) dibuat pula air mancur. Sisa – sisa salurannya masih ditemukan pada tahun 1882, yang ternyata berbentuk balok kayu persegi empat yang dilubangi, disambung – sambung satu sama lain direkat dengan timah (De Haan 1935; 299 – 300).
Pasar Baru
Merupakan nama sebuah pasar yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Sebutan nama Pasar Baru, karena pasar ini merupakan pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sektor lapangan Gambir dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels. Daerah yang dibangun oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut Weltevreden ( tempat yang menyenangkan). Disekitar weltevreden telah ada pasar seperti pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk membedakan satu sama lain, Daendels menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru. (Yang baru dibangun).
Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan, termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Tanah Abang
Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.
Menurut Tota M. Tobing (intisari, Agustus 1985), ada anggapan, bahwa namaTanah Abang diberikan oleh orang – orang Mataram yang berkubu di situ dalam rangka penyerbuan Kota Batavia tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya datang melalui laut di utara, melainkan juga melalui darat dari selatan. Ada kemungkinan pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya berwarna merah, atau abang menurut bahasa Jawa.
Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa) Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan di kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan Cina, pada tahun 1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten sebelum hijrah ke Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab dengan orang – orang Banten. Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang asal Banten,dari tahanan Kompeni dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79, 1923:4).
Angke
Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Mayat orang – orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.
Betawi
Merupakan sebutan lain untuk kota Jakarta dan sekaligus sebutan untuk masyarakat pribumi yang berdiam di Jakarta Asal – usul penyebutan nama Betawi ini ada beberapa versi.
Versi pertama menyebutkan bahwa nama Betawi berasal dari pelesetan nama Batavia. Nama Batavia berasal dari nama yang diberikan oleh J.P Coen untuk kota yang harus dibangunnya pada awal kekuasaan VOC di Jakarta. Kota Batavia yang dibangun Coen itu sekarang disebut Kota atau Kota lama Jakarta. Karena asing bagi masyarakat pribumi dengan kata Batavia, maka sering dibaca dengan Betawi.
Versi kedua menyebutkan bahwa nama Betawi mempunyai sastra lisan yang berawal dari peristiwa sejarah yang bermula dari penyerangan Sultan Agung (Mataram) ke Kota berbenteng , Batavia. Karena dikepung berhari – hari dan sudah kehabisan amunisi, maka anak buah (serdadu) J.P. Coen terpaksa membuat peluru meriam dari kotoran manusia Kotoran manusia yang ditembakkan kepasukan Mataram itu mendatangkan bau yang tidak sedap, secara spontan pasukan Mataram yang umumnya adalah orang Jawa berteriak menyebut mambu tai….., mambu tai. Kemudian dalam percakapan sehari – hari sering disebut Kota Batavia dengan kota bau tai dan selanjutnya berubah dengan sebutan Betawi.
Glodok
Glogok dewasa ini dijadikan nama sebuah kelurahan di wilayah kecamatan Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal – usul nama kawasan itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari kata grojok, onomatopi suara kucuran air dari pancuran. Memang cukup masuk akal, karena di sana jaman dulu terdapat semacam waduk penampungan air dari kali Ciliwung, yang dikucurkan dengan pancuran terbuat dari kayu dari ketinggian kurang lebih 10 kaki. Kata grojok diucapkan oleh orang – orang. Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu jaman dulu berubah menjadi Glodok sesuai dengan lidahnya.
Keterangan lainnya menyebutkan, bahwa kata glodok diambil dari sebutan terhadap jembatan yang melintas Kali Besar (Ciliwung) di kawasan itu, yaitu jembatan Glodok. Disebut demikian karena dahulu di ujungnya terdapat tangga – tangga menempel pada tepi kali, yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci oleh penduduk di sekitarnya. Dalam bahasa Sunda, tangga semacam itu disebut glodok, sama seperti sebutan bagi tangga rumah.
Mandi di kali pada jaman dulu, bukan hanya kebiasaan orang bumiputra saja melainkan menjadi kebiasaan umumnya penduduk, termasuk orang – orang Belanda yang berkedudukan tinggi sekalipun ( De Haan, 1935: 193 dan 294).
Karet Tengsin
Marupakan nama kampung yang ada disekitar kampung Tanah Abang. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng Sien . Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada masyarakat sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal. Disekitar daerah ini pada waktu itu banyak tumbuh pohon karet karena masih berupa hutan. Pada waktu Ten Sien meninggal, banyak masyarakat yang dating melayat. Bahkan ada yang dating dari luar Jakarta, seperti dari Jawa Tengah dan Jawa Timur Teng Sien dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah ini terkenal sampai sekarang dengan nama Karet Tengsin.
Kebayoran
Kawasan Kebayoran dewasa ini terbagi menjadi dua buah kecamatan, Kecamatan Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama, Kotamadya Jakarta Selatan.
Kebayoran berasal dari kata kabayuran, yang artinya “tempat penimbunan kayu bayur†(Acer Laurinum Hask., famili Acerinae), yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap (fillet 1888: 40). Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun dikawasan itu pada jaman dulu, melainkan juga jenis – jenis kayu lainnya. Kayu – kayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Berbeda dengan keadaan sekarang, kedua sungai tersebut pada jaman itu cukup lebar dan berair dalam.
Menteng
Merupakan nama daerah yang ada di selatan kota Batavia. Semula daerah ini merupakan hutan dan banyak ditumbuhi pohon buah – buahan. Karena banyaknya pohon Menteng yang tumbuh di daerah ini, maka masyarakat mengaitkan nama tempat ini dengan Kelurahan dan sekaligus juga nama Kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Pusat.
Pancoran
Pancoran terletak di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat.
Pancoran berasal dari kata Pancuran. Di kawasan itu pada tahun 1670 dibangun semacam waduk atau “aquada†tempat penampungan air dari kali Ciliwung, yang dilengkapi dua buah pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian kurang lebih 10 kaki.
Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjaja yang menjajakannya disepanjang saluran – saluran (grachten) di kota. Dari tempat itu pula kelasi- kelasi biasa mengangkut air untuk kapal – kapal yang berlabuh agak jauh dilepas pantai, karena dipelabuhan Batavia kapal tidak dapat merapat. Karena banyaknya yang mengambil air dari sana, sering kali mereka harus antri berjam – jam. Tidak jarang kesempatan itu mereka manfaatkan untuk menjual barang – barang yang mereka selundupkan.
Dari penampungan di situ kemudian air disalurkan ke kawasan kastil melalui Pintu Besar Selatan. Rancangannya sudah dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Durven (1728 – 1732), tetapi dilaksanakan pada awal masa Van Imhoff berkuasa (1743 – 1750). Dengan demikian maka pengambilan air untuk keperluan kapal menjadi tidak terlalu jauh sampai melewati kota.
Dengan adanya saluran air dari kayu itu, maka di halaman Balikota (Stadhuis) dibuat pula air mancur. Sisa – sisa salurannya masih ditemukan pada tahun 1882, yang ternyata berbentuk balok kayu persegi empat yang dilubangi, disambung – sambung satu sama lain direkat dengan timah (De Haan 1935; 299 – 300).
Pasar Baru
Merupakan nama sebuah pasar yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Sebutan nama Pasar Baru, karena pasar ini merupakan pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sektor lapangan Gambir dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels. Daerah yang dibangun oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut Weltevreden ( tempat yang menyenangkan). Disekitar weltevreden telah ada pasar seperti pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk membedakan satu sama lain, Daendels menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru. (Yang baru dibangun).
Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan, termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Tanah Abang
Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.
Menurut Tota M. Tobing (intisari, Agustus 1985), ada anggapan, bahwa namaTanah Abang diberikan oleh orang – orang Mataram yang berkubu di situ dalam rangka penyerbuan Kota Batavia tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya datang melalui laut di utara, melainkan juga melalui darat dari selatan. Ada kemungkinan pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya berwarna merah, atau abang menurut bahasa Jawa.
Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa) Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan di kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan Cina, pada tahun 1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten sebelum hijrah ke Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab dengan orang – orang Banten. Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang asal Banten,dari tahanan Kompeni dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79, 1923:4).
Asal Usul Betawi
Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar-besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak dengan Jakarta.
Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.
Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun 1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan Pajajaran-Hindu untuk membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590, Banten mengirim seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari Banten dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis dan membangun benteng pertahanan di sekitar pantai Sunda Kelapa, sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan dagang, namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan Banten.
Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang Belanda dan membangun loji-loji dagang di sekitar Sunda Kelapa, pada awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta penguasa Sunda Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada waktu itu sudah tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan di Kesultanan Banten, Pangeran Jayawikarta di paksa untuk melawan Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda bernama Jan Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan tindakan penyerangan ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya Pangeran Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik melakukan pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui pasukan bala bantuan. Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-bulan lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai Sunter, Pangeran-pun mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618, pasukan Banten berhasil menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat (kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta-pun bergabung dengan pasukan Banten dan menyusun serangan, namun JP Zoen Coen memutuskan untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung. Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa pasukan Mataram akan melakukan penyerbuan-penyerbuan ke wilayah pesisir dan pada saat itu sedang bertarung di wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut hitung-hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang Jayakarta untuk membangun pelabuhan dagangnya yang dekat dengan pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di tanah-tanah yang diakui sebagai hak VOC.
Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia mengambil ratusan tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari Bali, Bugis dan Ambon untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen Coen dan sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saat pasukan Belanda mengepung masjid yang digunakan Pangeran untuk berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam masjid, dan Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu, Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di wilayah Jatinegara.
Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen menghadapi pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Sura Agul-Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang Priangan. Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan diracunnya sungai Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC.
Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti yang menguasai Belanda dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia disebut juga Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat apolitis, dan menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi yang ‘keningrat-ningratan dengan menggunakan gelar Raden, Raden betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri huruf ‘R’, penulisan gelar Raden Betawi ditulis ‘Rd’ misalnya : Rd. Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri mungkin berasal dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak bagian dari suku pedalaman, ini sama saja dengan kaum Melayu di Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di Sumatera Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa atau batavia adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten, Portugis dan Belanda. Saking sering konflik dengan Pajajaran Bogor, orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata “Dasar Pejajaran!”
Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang kekuasaannya.Itulah yang dapat menjelaskan mengapa suku betawi jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan kotanya sendiri, jabatan yang paling disenangi orang Betawi adalah jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak sekali dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama.
Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah orientasi budaya. Budaya betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar dunia pada jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang). Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga kepada penduduk aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia dagang, hidup mereka di orientasikan pada agama Islam. Untuk menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah naik haji, dan bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke pendidikan agama bukan pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan menganggap pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini melihat pendidikan sekuler kalah penting ketimbang pendidikan agama. Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur ‘Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah’. Pandangan mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati.
Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya buntelan menjadi sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-gang sempit atau toleran terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang pendatang itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari awal dia hidup masih sering berhubungan dengan ‘kerabat-kerabat betawi-nya yang dulu pernah menolong’. Orang Betawi terkenal blak-blakan, kalau bicara seperti orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang Melayu mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi membunyikannya dengan lempeng. Bahasa Betawi adalah bahasa yang paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini seluruh radio-radio di seantero Nusantara menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari proses ‘Jakartanisasi’.
Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet menerima gempuran budaya urban, suku-suku lain seperti Jawa, Sunda dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-wilayah pedalaman, pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai macam pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-suku Betawi tidak murni lagi sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar wilayah-wilayah pusat dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah Abang, Slipi, Pekojan, dan sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka banyak yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten, Kemang dan wilayah-wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, mereka ini banyak keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan, suku-suku betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan keturunan sisa-sisa lasykar Mataram yang tidak berani pulang ke asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat sekali tingginya, bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa, Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya ‘ngapak-ngapak’, namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan Mataram-lah yang banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui keturunan lasykar-lasykar Mataram, tapi bila dilihat dari namanya sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti Wiro, Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas nama Sunda atau Banten yang lebih banyak terpengaruh nama-nama Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur bisa dikatakan wanita Betawi itu cantik-cantik.
Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas, dan membentuk subkultur yang pertama, adalah keturunan Betawi-Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok, agama mereka bukan Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik dan penganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh Belanda dan sampai sekarang agama mereka protestan, mereka memiliki budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang paling populer adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal. Yang kedua subkultur Betawi “Belanda-Depok”.
Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat penting VOC, wilayah ini mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan. Luasanya sekitar 1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi 6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein pensiun ia membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan oleh budak-budak yang dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob, Laurens, Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-keturunan mereka banyak menguasai tanah-tanah di Depok, agama mereka kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini tidak ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah Zadokh tidak ada lagi keturunan pria.
Asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.
Portugis yang mengincar pelabuhan-pelabuhan dagang Banten di tahun 1520-an, bekerja sama dengan kekuasaan Pajajaran-Hindu untuk membendung gerakan politik Banten-Islam. Namun pada tahun 1590, Banten mengirim seorang panglima perang bernama fatahillah yang baru saja datang dari Malaka, Fatahillah bersama para jawara dari Banten dan dibantu dengan pasukan dari Cirebon berhasil mengusir Portugis dan membangun benteng pertahanan di sekitar pantai Sunda Kelapa, sejak saat itu oleh Fatahilllah pantai Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan dagang, namun keramaiannya tetap kalah dengan pelabuhan Banten.
Ketika pelabuhan sunda kelapa sudah ramai, datanglah armada dagang Belanda dan membangun loji-loji dagang di sekitar Sunda Kelapa, pada awalnya kedatangan Belanda ini disukai oleh Pangeran Jayawikarta penguasa Sunda Kelapa dan menamakan wilayah kekuasaannya sebagai Jayakarta, tetapi atas desakan dari Banten yang pada waktu itu sudah tidak menyukai kehadiran Belanda akibat politik campur tangan di Kesultanan Banten, Pangeran Jayawikarta di paksa untuk melawan Belanda. Pada saat itu pemimpin dagang dan bersenjata Belanda bernama Jan Pieter Zoen Coen yang oleh orang-orang Betawi di kenal sebagai Murjangkung, nah JP Zoen Coen melakukan tindakan penyerangan ke arah benteng-benteng di tepi pelabuhan Sunda Kelapa, pada awalnya Pangeran Jayawikarta mampu bertahan dan berharap ada bantuan dari Banten dan Cirebon, namun Belanda dengan cerdik melakukan pengepungan dengan memblokir jalan-jalan yang kemungkinan di lalui pasukan bala bantuan. Pada tahun 1614 Pangeran Jayawikarta memutuskan untuk meloloskan diri dari pengepungan yang berbulan-bulan lamanya. Ia bersama lima ratus orang pasukannya menyingkir ke daerah rawa-rawa yang kini dikenal sebagai Sunter, Pangeran-pun mendirikan pusat-pusat perlawanan gerilya. Pada awal tahun 1618, pasukan Banten berhasil menyusup ke Jayakarta dari arah Bogor, dan mereka membangun markasnya di sekitar hutan Jati yang sangat lebat (kini bernama Jatinegara). Pangeran Jayawikarta-pun bergabung dengan pasukan Banten dan menyusun serangan, namun JP Zoen Coen memutuskan untuk menggempur habis-habisan pasukan Banten-Jayakarta, sebelum datangnya pasukan yang jauh lebih besar Mataram-Sultan Agung. Intelijen JP Zoen Coen mendengar bahwa pasukan Mataram akan melakukan penyerbuan-penyerbuan ke wilayah pesisir dan pada saat itu sedang bertarung di wilayah priangan untuk menaklukkan bekas wilayah Pajajaran-Hindu yang dikuasai raja-raja kecil Islam. Menurut hitung-hitungan JP Zoen Coen, lambat tapi pasti Mataram akan menyerang Jayakarta untuk membangun pelabuhan dagangnya yang dekat dengan pelabuhan Malaka. Untuk itu dia membereskan separatis Betawi di tanah-tanah yang diakui sebagai hak VOC.
Hitungan JP Zoen Coen ternyata sangat tepat, ia berkonsentrasi menghabisi pasukan Banten-Jayakarta untuk itu ia mengambil ratusan tentara bayaran dari Jerman dan beberapa budak yang didatangkan dari Bali, Bugis dan Ambon untuk menyerbu markas Pangeran Jayakarta. Pada tahun 1620, markas pangeran jayakarta diserbu oleh JP Zoen Coen dan sejarah membuktikan Pangeran tu mengalami kekalahan, Pada saat pasukan Belanda mengepung masjid yang digunakan Pangeran untuk berlindung, Pangeran masuk ke dalam sumur yang berada di dalam masjid, dan Belanda mengira Pangeran sudah mati di dalam sumur itu, Masjid itu kini bernama Masjid Salafiyah yang berdiri di wilayah Jatinegara.
Setelah beres dengan perlawanan dari unsur Banten, Zoen Coen menghadapi pasukan Mataram yang berada dibawah pimpinan Sura Agul-Agul dan beberapa senopati perang lainnya yang dibantu orang-orang Priangan. Namun taktik penghancuran logistik terhadap sawah-sawah yang menjadi sumber makanan pasukan Mataram dan diracunnya sungai Ciliwung menjadi kunci kemenangan VOC.
Kota Jayakarta-pun diganti nama menjadi Batavia oleh Zoen Coen nama ini diambil dari kata Bataafs, sebuah dinasti yang menguasai Belanda dan Jerman Utara.Dan orang-orang asli yang menempati wilayah Batavia disebut juga Betawi Banyak orang yang mengira asal-usul suku asli Batavia adalah budak-budak Zoen Coen, namun perkiraan ini banyak salahnya daripada betulnya, suku Betawi merupakan suku yang memiliki sifat uniknya sendiri, mereka sangat apolitis, dan menghindar dari struktur kekuasaan, walaupun ada juga orang Betawi yang ‘keningrat-ningratan dengan menggunakan gelar Raden, Raden betawi beda dengan Raden Sunda atau Raden Jawa yang hanya terdiri huruf ‘R’, penulisan gelar Raden Betawi ditulis ‘Rd’ misalnya : Rd. Mochtar, aktor jaman baheula. Orang Betawi sendiri mungkin berasal dari Melayu atau orang Jawa yang tinggal di pesisir namun menolak bagian dari suku pedalaman, ini sama saja dengan kaum Melayu di Kalimantan yang merasa bukan bagian dari Dayak, atau Melayu di Sumatera Utara yang menihilkan suku Batak. Sedari awal kita sudah lihat pemegang-pemegang kekuasaan di Sunda kelapa atau batavia adalah orang-orang pendatang seperti : Pajajaran-Hindu, Banten, Portugis dan Belanda. Saking sering konflik dengan Pajajaran Bogor, orang Betawi sampai sekarang kalau mengumpat berkata “Dasar Pejajaran!”
Orang-orang asli Betawi seakan-akan tidak peduli siapa pemegang kekuasaannya.Itulah yang dapat menjelaskan mengapa suku betawi jarang sekali menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan kotanya sendiri, jabatan yang paling disenangi orang Betawi adalah jabatan-jabatan yang berhubungan dengan agama, makanya banyak sekali dari orang-orang Betawi yang terdidik bekerja di Departemen Agama.
Untuk menjawab mengapa Betawi sangat berjarak dengan kekuasaan, mungkin jawaban yang paling tepat adalah orientasi budaya. Budaya betawi sangat unik dibanding budaya-budaya urban di kota-kota besar dunia pada jamannya seperti Huan Long (Vietnam) atau Kyoto (Jepang). Biasanya budaya urban mendorong kegiatan niaga kepada penduduk aslinya, namun untuk kasus Betawi mereka tidak menyukai dunia dagang, hidup mereka di orientasikan pada agama Islam. Untuk menjelaskan cara hidup Betawi, cara pandang Islam merupakan jawaban tepat. Bagi orang-orang Betawi kehidupan dunia tidak memiliki arti apa-apa, cita-cita terbesar orang Betawi adalah naik haji, dan bergelar Haji. Bagi orang Betawi pendidikan harus diorientasikan ke pendidikan agama bukan pendidikan cara Belanda, berbeda dengan suku-suku lain seperti Banten, Sunda dan Jawa yang perlahan menganggap pendidikan sekuler sangat penting, suku betawi sampai saat ini melihat pendidikan sekuler kalah penting ketimbang pendidikan agama. Jika kita menonton sinetron si Doel ada sebuah kesalahan fatal dari penilaian Rano Karno (sebagai penulis ide cerita) yang menganggap betawi itu sebagai orang-orang yang terbelakang secara pendidikan, karena disini Rano Karno melihat cara pendidikan Betawi dari kaca mata orang yang dididik dan dibesarkan dalam pendidikan sekuler dan ala barat. Orang-orang Betawi sangat berpendidikan bahkan beberapa orang kaya Betawi (contohnya Betawi Kuningan dan Betawi Tenabang) menyekolahkan anaknya ke Mesir dan Irak, banyak dari mereka bermukim di Mekkah untuk menimba ilmu agama, ratusan madrasah-madrasah dibangun untuk menampung anak-anak betawi, nah disinilah letak perbedaan orientasi, bagi suku-suku Batak, Minang, Sunda, Jawa dan Bugis (suku yang paling mendominasi arus intelektual di Indonesia), pendidikan ala barat merupakan patokan kecerdasan dan tingkat intelektualitas seseorang yang diperoleh melalui kapital simbolik ijazah sekolah barat yang sekuler. Lain ladang lain belalang bagi orang Betawi keberhasilan adalah bagaimana ia menyelesaikan pendidikan agama dan menjalani hidup dengan irama yang ia yakini, berorientasi pada alam akhirat dengan mengambil pahala banyak-banyak sesuai apa yang mereka yakini. Perbedaan orientasi inilah yang kerap menimbulkan salah paham bahwa orang-orang betawi sangat tidak menghargai pendidikan. Mereka justru sangat menghargai dasar-dasar pendidikan, hanya orang Betawi-lah yang mengenal kultur ‘Pagi belajar di SD, Siang ke Ibtidaiyah’. Pandangan mereka pendidikan haruslah holistik bukan kompartemental yang berakibat tidak seimbangnya nalar dan hati.
Orang Betawi terkenal senang menerima pendatang. Banyak dari pendatang-pendatang luar Jakarta yang modalnya buntelan menjadi sukses di Jakarta, waktu susah banyak ditolong orang Betawi di gang-gang sempit atau toleran terhadap bayaran rumah kontrakan. Rasa bertetangga mereka sangat tinggi, bahkan banyak ketika orang pendatang itu pindah ke tempat yang lebih jauh dan lebih nyaman dari awal dia hidup masih sering berhubungan dengan ‘kerabat-kerabat betawi-nya yang dulu pernah menolong’. Orang Betawi terkenal blak-blakan, kalau bicara seperti orang nyanyi. Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu yang terkenal dengan akhiran huruf e. Kalau orang Melayu mengucapkan huruf e itu dengan mengayun lembut, orang Betawi membunyikannya dengan lempeng. Bahasa Betawi adalah bahasa yang paling berpengaruh dalam ruang pergaulan informal anak muda, kini seluruh radio-radio di seantero Nusantara menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi sebagai bagian dari proses ‘Jakartanisasi’.
Suku Betawi adalah satu-satunya suku di Jakarta yang paling awet menerima gempuran budaya urban, suku-suku lain seperti Jawa, Sunda dan Bugis mengalami kekalahan yang hebat dan mundur ke wilayah-wilayah pedalaman, pesisirnya dikuasai Belanda dan orang-orang timur asing (Vreemde Osterlingen) seperti Cina dan Arab. Berbagai macam pengaruh yang mencampuri keragaman budaya Betawi bahkan darah suku-suku Betawi tidak murni lagi sebagai sebuah ras, orang-orang Betawi adalah campuran dari cina, eropa dan arab. Bagi saya pribadi pernah membagi-bagi fisiognomi-geografi orang-orang Betawi, untuk ras yang di dominasi oleh ras Arab berdiam di sekitar wilayah-wilayah pusat dan utara kota Jakarta, orang-orang Betawi Ancol, Sunter, Tanah Abang, Slipi, Pekojan, dan sekitar Kampung Melayu dan Jatinegara merupakan betawi yang memiliki tekstur arab secara khas, mereka banyak yang keturunan arab. Sedangkan betawi-betawi yang berdiam di sekitar Kuningan, Mampang, Buncit, Pejaten, Kemang dan wilayah-wilayah tengah banyak yang berkulit putih bersih dan bermata sipit, mereka ini banyak keturunan dari ulama-ulama besar Islam keturunan Cina, sedangkan untuk wilayah Depok, ada sebuah keunikan, suku-suku betawi ini di bagi dua kelompok besar yaitu : keturunan Belanda dan keturunan sisa-sisa lasykar Mataram yang tidak berani pulang ke asalnya karena takut dihukum. Untuk yang keturunan Belanda terlihat sekali tingginya, bila anda datang ke wilayah-wilayah Jagakarsa, Ciganjur, Depok lama maka sesekali terlihat wajah-wajah indo yang tinggi badannya sekitar 180-an cm yang bicaranya ‘ngapak-ngapak’, namun jenis ras indo ini tidak banyak, keturunan Mataram-lah yang banyak, mereka sendiri tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui keturunan lasykar-lasykar Mataram, tapi bila dilihat dari namanya sungguh nama-nama itu adalah nama yang berasal dari Jawa; seperti Wiro, Tole, Bagor, Diro, Pulung dll yang bukan merupakan ciri khas nama Sunda atau Banten yang lebih banyak terpengaruh nama-nama Islam. Karena merupakan suku melting pot yang terus menerus berbaur bisa dikatakan wanita Betawi itu cantik-cantik.
Ada juga betawi-betawi yang menyimpang dari arus besar komunitas, dan membentuk subkultur yang pertama, adalah keturunan Betawi-Portugis yang berdiam di sekitar wilayah Tugu dekat Tanjung Priok, agama mereka bukan Islam tetapi Kristen Protestan, pada awalnya mereka beragama Katolik tapi atas paksaan VOC yang anti Katolik dan penganut protestan Calvinis, mereka dipaksa masuk Protestan oleh Belanda dan sampai sekarang agama mereka protestan, mereka memiliki budaya sendiri seperti lempar-lempar bedak pada hari natal atau yang paling populer adalah musik keroncong, di tahun 1930-an orang-orang Tugu banyak menjadi buaya-buaya keroncong terkenal. Yang kedua subkultur Betawi “Belanda-Depok”.
Dulu disekitar wilayah Depok berdiri sebuah perkebunan besar yang dibangun oleh Cornelis Chastelein, pejabat penting VOC, wilayah ini mencakup Depok, Cinere dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan. Luasanya sekitar 1285 hektar (hitungannya sekarang mungkin mencakupi 6 kecamatan). Pada tahun 1696 menjelang Chastelein pensiun ia membeli tanah tersebut dan tahun 1714 tanah tersebut di wariskan oleh budak-budak yang dimerdekakannya, budak-budak itu diperkirakan ada 12 orang, nama-nama mereka adalah Leander, Loen, Jacob, Laurens, Joseph, Jonathans, Bacas, Soedira, Isakh, dan Zadokh. Keturunan-keturunan mereka banyak menguasai tanah-tanah di Depok, agama mereka kebanyakan Kristen Protestan, untuk nama belakang Zadokh saat ini tidak ditemukan lagi, kemungkinan karena beberapa generasi setelah Zadokh tidak ada lagi keturunan pria.
Langganan:
Postingan (Atom)